Jakarta | Mediatargetlrimsus.com
Farida Sebayang dari Tim Investigasi LBH Pers Presisi Polri GSN-RBRPG melaporkan kejadian yang mengiris hati sekaligus memancing kemarahan publik. Tragedi memilukan terjadi di Desa Hutabagasan, Kecamatan Bandar Pasir Mandoge, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara. Sejumlah emak-emak nekat naik ke atas alat berat jenis beko dan doser untuk menghentikan laju penggusuran paksa yang dilakukan oleh Satpol PP dan aparat kepolisian.
Aksi perlawanan warga, khususnya para ibu, terjadi ketika pemerintah daerah bersama aparat melakukan penggusuran terhadap rumah-rumah warga. Dorong-mendorong hingga pemukulan terjadi. Brutalisme terjadi saat para perempuan gigih mempertahankan tempat tinggal mereka yang telah dihuni selama lebih dari 60 tahun. Mereka disebutkan tidak memiliki IMB, meskipun lahan yang ditempati merupakan eks HGU PT SPR yang secara hukum telah kembali ke negara.
Tragedi ini disebut menelan korban jiwa. Salah satu ibu yang mencoba menghentikan alat berat dikabarkan meninggal dunia di lokasi kejadian. Perlawanan warga terhadap penggusuran brutal ini memunculkan gelombang simpati dan kemarahan di masyarakat. Banyak pihak menilai aparat terlalu represif dan tidak mempertimbangkan aspek kemanusiaan serta sejarah hak atas tanah.
Organisasi kemanusiaan seperti DPP GAKORPAN, PPWI, FPN, BAI Center, dan lembaga perlindungan perempuan dan anak, turut mengecam keras aksi kekerasan terhadap rakyat kecil. Mereka mendesak dilakukan investigasi menyeluruh terhadap dugaan mafia tanah yang bermain di balik proyek pembangunan hunian eksklusif di atas lahan masyarakat.
Menurut warga bernama John Sinurat (45), lahan yang disengketakan berada di kawasan pertanian dan perumahan Kampung Parbuttatan, Sigalungun, Aek Natolu – Asahan. Ia menyebut bahwa tanah tersebut adalah tanah wakaf yang digabungkan dalam HGU PT SPR tanpa persetujuan warga. Kini, warga menuntut agar lahan tersebut dikeluarkan dari peta HGU dan dikembalikan kepada masyarakat.
Tragedi Mandoge dianggap sebagai bagian dari pola lama, yaitu penjajahan gaya baru yang menggunakan proyek strategis nasional sebagai dalih untuk mencaplok tanah rakyat demi kepentingan oligarki. Proyek hunian mewah seperti di kawasan Pantai Indah Kapuk (PIK) dan Rempang dijadikan pembenaran untuk mengusir warga asli.
Masyarakat menilai ini sebagai bentuk penghianatan terhadap nilai-nilai Pancasila, UUD 1945, dan semangat Trisakti yang pernah digaungkan Bung Karno. Negara dinilai gagal melindungi rakyat kecil dari kesewenang-wenangan kekuasaan dan mafia tanah.
Kini publik menuntut agar kasus ini diusut tuntas. Mafia tanah di Mandoge, aparat yang terlibat, serta oknum pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan harus diadili. Rakyat tidak butuh janji manis dan retorika kosong. Yang dibutuhkan adalah keadilan nyata dan perlindungan hak asasi manusia.
Tuntutan Masyarakat: Usut, Bongkar, dan Adili!
Salam ASTA CITA – Pancasila, UUD 1945, Merdeka!
Red
Tags:
hukum