Breaking News

Sebut Kritik Rakyat Sebagai Orang Tolol Sedunia, Sahroni Dinilai Rai Gedek dan Primitif



 Sebut Kritik Rakyat Sebagai Orang Tolol Sedunia, Sahroni Dinilai Rai Gedek dan Primitif


Jakarta, Sabtu, 23 Agustus 2025.


Jakarta, MediaTargetKrimsus.Com — Pernyataan Ahmad Sahroni, anggota DPR RI Komisi III dari Dapil Jakarta, yang menyebut rakyat sebagai orang tolol sedunia ketika menanggapi kritik publik dan desakan pembubaran DPR, menuai kecaman keras. Aktivis Sosial, Politik, dan Hukum, Hotman Samosir, yang juga pendiri PILAR, menyebut ucapan tersebut sebagai bentuk arogansi sekaligus kemunduran moral seorang Pejabat Publik yang seharusnya menjaga martabat rakyat yang diwakilinya.


Menurut Hotman Samosir, pernyataan Sahroni bukan hanya menciderai Etika Bernegara, tetapi juga meruntuhkan makna representasi politik. DPR ada karena mandat rakyat, bukan sebaliknya.


> “Menyebut rakyat tolol sedunia sama saja menghina konstituen yang telah memberinya kursi di Senayan. Itu bukan saja tidak etis, tetapi juga rai gedek alias muka tebal yang melampaui batas kepantasan politik,” tegas Hotman.


Aktivis Hotman Samosir menilai sikap Sahroni menunjukkan pemahaman yang primitif dalam membaca kritik rakyat. Padahal, kritik adalah bagian dari hak konstitusional masyarakat sebagaimana dijamin dalam Pasal 28E ayat (3) UUD NRI 1945, yang menyatakan setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.


> “Kalau rakyat tidak boleh mengeluarkan pendapat dan mengkritik, lalu DPR mau jadi lembaga otoriter? 

Ini bahaya bagi demokrasi,” ujar aktivis Hotman.


Aktivis ini mengingatkan, DPR lahir dari eksistensi rakyat. Tanpa rakyat, tidak ada lembaga legislatif, tidak ada kursi empuk di Parlemen dan tidak ada gaji serta tunjangan fantastis yang kini dipersoalkan publik. Menurutnya, setiap kritik semestinya dijawab dengan kerendahan hati, bukan dengan caci maki yang mempermalukan Lembaga Negara.


Hotman menyebut sikap arogan ini mencerminkan ketidakpekaan Anggota Dewan terhadap realitas sosial. Saat rakyat menjerit menghadapi harga pangan mahal, pengangguran, kemiskinan, praktik korupsi marak, sengkarut pajak, dan ketimpangan ekonomi kian lebar, justru yang muncul adalah respons kasar dari Wakil Rakyat.


> “Alih-alih mendengar, mereka malah memaki. Ini tragedi politik, bukan sekadar slip of tongue. Rakyat berhak mengingat dan "menandai" mereka ini di pemilihan legislatif yang akan datang,” ungkapnya.


Lebih jauh, aktivis ini menyinggung sejarah politik Indonesia. Soeharto yang begitu kuat pada zamannya saja bisa tumbang karena kesombongan kekuasaan. Apalagi, kata Hotman, hanya seorang Ahmad Sahroni yang posisinya bergantung penuh pada suara rakyat.


> “Kesombongan adalah awal dari kejatuhan. Siapa pun yang menghina rakyat akan menuai perlawanan balik,” katanya.


Hotman juga menilai DPR saat ini terlalu defensif dan retoris dalam merespons kritik publik, khususnya terkait sorotan terhadap gaji, tunjangan, dan berbagai fasilitas mewah Anggota Dewan. Menurutnya, membela diri dengan argumen normatif bahwa semua itu "sah dan logis" secara aturan tidak otomatis menghapus problem etika dan moral di mata rakyat.


> “Legal belum tentu legitim. Banyak kebijakan yang memang sah secara aturan, tapi tidak punya legitimasi moral karena rakyat menolaknya. Nah, DPR sekarang sedang kehilangan legitimasi moral itu,” ujar aktivis Hotman.


Ia menyayangkan ketika kritik rakyat justru dibalas dengan sikap culas dan serangan balik. Padahal, semestinya DPR menggunakan kritik itu sebagai momentum introspeksi diri, evaluasi secara militan, dan perbaikan kinerja.


> “Kritik itu vitamin demokrasi, bukan racun. Kalau anggota dewan alergi kritik, berarti mereka lebih cocok hidup di rezim otoriter, bukan di republik demokratis,” katanya.


Kekecewaan publik terhadap DPR, menurut Hotman, bukanlah isu kentang. Seruan untuk membubarkan DPR mencuat karena masyarakat merasa dikhianati dan kecewa berat. Aktivis ini mewanti-wanti, jika wakil rakyat tidak lagi mewakili suara rakyat, tetapi hanya mewakili kepentingan kelompok dan partai, maka legitimasi keberadaan lembaga tersebut akan terus dipertanyakan.


> “Itu logika sosial-politik yang tidak bisa dibungkam dengan kata-kata kasar Sahroni,” tambahnya.


Lebih lanjut, ia menyoroti fenomena gaya hidup mewah pejabat publik yang kontras dengan penderitaan rakyat. “Masyarakat diperas dengan pajak, harga kebutuhan melonjak, tapi di Senayan sibuk menikmati fasilitas. Ketika rakyat protes, malah dihina. Di mana empati dan hati nurani mereka?” ujar Hotman penuh kecewa.


Menurutnya, DPR semestinya menjadi garda terdepan membela rakyat dalam menghadapi krisis global dan ketimpangan sosial, bukan justru menjadi beban dengan perilaku hedonis dan arogan. “Jabatan adalah amanah, bukan hak istimewa. Kalau lupa itu, maka DPR akan terus digugat rakyat,” ujarnya.


Di akhir pernyataan, aktivis Hotman Samosir mendesak Ahmad Sahroni untuk lebih dewasa dan beradab menanggapi kritik publik. Lebih dari itu, ia menuntut DPR melakukan refleksi kolektif agar tidak semakin jauh dari rakyat yang diwakilinya. 


> “Kalau tidak ada perubahan sikap, bukan mustahil rakyat benar-benar akan mengambil sikap ekstrem dengan menolak, melawan, bahkan menuntut pembubaran DPR. Sejarah Indonesia membuktikan, kekuatan rakyat selalu lebih besar dari kursi dan gedung megah manapun,” pungkasnya.


Diberitakan Oleh:

*(RS - Tim Red)*


🌈🦋 🌈

© Copyright 2022 - Media Target Krimsus