Eksekusi Silfester Matutina Dinilai Politis, Presiden Didesak Copot Jaksa Agung
Jakarta, Jumat, 19 September 2025.
Jakarta, MediaTargetKrimsus.Com — Polemik gagal dieksekusinya terpidana Silfester Matutina memunculkan pertanyaan besar soal keberanian dan integritas kejaksaan yang dipimpin oleh ST Burhanuddin. Peristiwa ini dianggap mencoreng wajah Hukum Indonesia karena putusan pengadilan yang sudah berkekuatan Hukum tetap ternyata tidak bisa dijalankan.
Publik pun menilai, kasus ini lebih dari sekadar masalah teknis. Banyak yang menduga sarat intervensi kekuasaan atau kepentingan politik tertentu yang membuat eksekusi tersebut urung dilakukan. Inilah yang membuat kasus Silfester memicu kekecewaan luas di tengah masyarakat.
Aktivis dan pendiri Pergerakan Indonesis untuk Keadilan dan Aspirasi Rakyat (PILAR), Hotman Samosir, S.H., D.Com, menegaskan Jaksa Agung harus bertanggung jawab. Menurutnya, jika putusan yang sudah final tidak bisa dieksekusi, maka Marwah Hukum, Martabat Peradilan serta korban sebagai iustitiabelen sedang dipermalukan di depan rakyat.
“Jaksa Agung tidak boleh bersembunyi di balik alasan teknis. Eksekusi adalah tugas final Kejaksaan. Bilamana gagal, berarti ada "something" yang serius, entah itu tekanan atau permainan di balik layar,” ujarnya, Rabu (17/9/2025).
Aktivis Hotman Samosir menilai, kegagalan eksekusi ini adalah Bentuk Pengkhianatan Terhadap Prinsip dan Sistem Negara Hukum. Aktivis ini menekankan, putusan Pengadilan harus dilaksanakan tanpa pandang bulu.
“Giliran rakyat kecil, belum inkracht saja sudah dikandangin meskipun pidananya Tipiring. Sementara orang yang punya kekuatan politik atau uang bisa menghindar dan bebas bersoal jawab di depan layar TV. Negara Hukum hanya di atas kertas, lagaknya Indonesia bukan rechtsstaat lagi, tapi machtstaat,” tegas aktivis vokal Hotman.
Aktivis Hotman juga mengingatkan peran Presiden dalam memastikan hukum berjalan. Ia menilai pemerintah pusat ikut bertanggung jawab karena membiarkan institusi kejaksaan serampangan dalam melaksanakan putusan.
“Kalau Presiden Prabowo diam saja, rakyat akan melihat bahwa Pemerintah ikut melindungi politisasi Hukum ini. Presiden tidak bisa cuci tangan dengan berkata "itu ranah Hukum". Giliran "bebasin" koruptor, dalihnya hak prerogatif presiden,” ujarnya tegas mengingatkan.
Aktivis Hotman juga mendesak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), khususnya Komisi 3 yang membidangi Hukum segera memanggil segera Jaksa Agung untuk dimintai pertanggungjawaban.
“Kalau tidak ada penjelasan yang rasional dan SOP, maka Jaksa Agung ST Burhanuddin pantas dicopot. Jangan sampai kejaksaan berubah jadi institusi politik,” katanya.
Sebagai solusi, aktivis ini mendorong adanya mekanisme pengawasan independen dalam setiap proses eksekusi. Di samping itu, reformasi institusi Kejaksaan Republik Indonesia urgen dilakukan, terutama pimpinan yang dinilai sudah terkontaminasi dan nirintegritas. Dengan begitu, tidak ada lagi ruang bagi intervensi atau permainan Politik dan Hukum.
Gagalnya eksekusi Silfester Matutina menjadi sorotan karena eksekusi adalah tahap akhir dari proses peradilan. Saat Pengadilan sudah memutus bersalah, tugas Jaksa hanyalah melaksanakan. Jika hal sederhana itu saja tidak bisa dijalankan, maka masyarakat, akademisi, pemerhati, dan pencari keadilan wajar meragukan independensi dan integritas Kejaksaan.
Sebelumnya, publik, akademisi, pemerhati, dan pencari keadilan menyoroti mengapa Silfester Matutina belum juga dieksekusi meski telah dijatuhi Hukuman 1 tahun 6 Bulan Pidana Penjara.
Sementara itu, upaya Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan oleh terpidana sebelumnya telah ditolak, dalam perkara pencemaran nama baik terhadap eks Wakil Presiden dua periode, Jusuf Kalla.
Diberitakan Oleh:
*(RS - Tim Red)*
🌈🦋 🌈
Social Header