Hermawan Soroti Penetapan Roy Suryo Cs sebagai Tersangka
Jakarta, Rabu, 12 Nopember 2025.
Jakarta, MediaTargetKrimsus.Com — Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Advokat Bela Rakyat Indonesia (DPP ABR-I), Dr.(c) Hermawan, S.HI., M.H., CM., SHEL, menilai penetapan Roy Suryo dan tujuh orang lainnya sebagai tersangka dalam kasus dugaan fitnah ijazah Presiden Joko Widodo seharusnya tidak perlu berlarut-larut menjadi persoalan Hukum.
Menurut Hermawan, perdebatan publik mengenai keaslian ijazah Presiden bisa diselesaikan melalui pembuktian terbuka dan transparan, bukan lewat jalur kriminalisasi atau adu laporan antar pihak.
“Isu ijazah ini cukup dibuktikan secara terbuka agar masyarakat mendapat kejelasan. Tidak perlu dibawa ke arah kriminalisasi, karena itu justru memperkeruh suasana,” tegas Hermawan, Rabu (12/11/2025).
Ia menilai bahwa pendekatan hukum semestinya memperhatikan asas proporsionalitas dan edukasi publik, terutama di era kebebasan berekspresi digital.
“Negara harus hadir menjelaskan fakta, bukan sekadar menghukum,” tambahnya.
Kasus ini mencuat setelah Roy Suryo, mantan Menteri Pemuda dan Olahraga, dalam beberapa kesempatan di acara stasiun TV menuding bahwa foto dalam ijazah Presiden Jokowi bukanlah dirinya, melainkan seseorang bernama Dumatno Budi Utomo.
“Orang yang ada di foto ijazah itu namanya Dumatno Budi Utomo, bukan Joko Widodo,” ujar Roy dalam acara tersebut.
Roy bahkan menyebut bahwa Dumatno merupakan sepupu Jokowi dan salah satu komisaris di PT Toba. Pernyataan ini kemudian diperkuat oleh Rustam Effendi, salah satu tersangka lain, yang mengaku memperoleh foto dari keponakannya.
Pernyataan-pernyataan itu dianggap pihak kepolisian mengandung unsur pencemaran nama baik dan penyebaran informasi palsu, hingga akhirnya Roy Suryo Cs resmi ditetapkan sebagai tersangka.
Kepolisian membagi para tersangka dalam dua klaster.
Klaster pertama terdiri atas Eggi Sudjana, Kurnia Tri Rohyani, Damai Hari Lubis, Rustam Effendi, dan Muhammad Rizal Fadilah. Mereka dijerat Pasal 310, 311, dan 160 KUHP, serta pasal-pasal UU ITE tentang pencemaran nama baik dan ujaran kebencian.
Sementara klaster kedua mencakup Roy Suryo, Rismon Hasiholan Sianipar, dan dr. Tifa, dengan jeratan Pasal 310 dan 311 KUHP, serta Pasal 27A, 28 ayat 2, dan 35 juncto Pasal 51 ayat 1 UU ITE.
Lebih lanjut, Hermawan menilai bahwa dalam konteks komunikasi publik, pemerintah semestinya mengedepankan transparansi dan keterbukaan informasi untuk meredam spekulasi di masyarakat.
Ia menegaskan, “Ketika negara transparan, publik tidak lagi menduga-duga. Tapi ketika informasi tertutup, ruang fitnah justru semakin besar.”
Dari sisi etika media, Hermawan juga mengingatkan bahwa pengguna media sosial harus berhati-hati dalam membagikan informasi yang belum terverifikasi.
Menurutnya, verifikasi data dan sumber adalah tanggung jawab moral di ruang digital yang kini menjadi bagian dari ekosistem demokrasi.
Kasus ini menjadi cermin bagaimana isu publik bisa cepat berubah menjadi persoalan hukum dan politik.
Hermawan berharap penegakan hukum tidak mengabaikan kebebasan berekspresi yang dijamin konstitusi, tetapi tetap memberikan edukasi agar masyarakat lebih bijak dalam menyampaikan pendapat di ruang digital.
“Keadilan tidak selalu berarti menghukum, kadang berarti membuka kebenaran agar publik tercerahkan,” pungkasnya.
Diberitakan Oleh:
*(Sahrodi - Red)*
🌈🦋 🌈

Social Header