Tolak Gelar Pahlawan Untuk Soeharto, Aktivis: Gelar Pahlawan (Bukan) “Barang Dagangan Politik”
Jakarta, Rabu, 12 Nopember 2025.
Jakarta, MediaTargetKrimsus.Com — Keputusan presiden Prabowo Subianto, berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 116/TK/Tahun 2025 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional, menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada eks Presiden Republik Indonesia, Soeharto, penguasa Orde Baru selama 32 tahun, di Istana Negara, Jakarta, Senin (10/11/2025), menimbulkan kritik moral dan gelombang penolakan dari berbagai lini.
Di dalam negeri, para aktivis, sejarawan, dan akademisi hingga mahasiswa kritis menilai keputusan itu sebagai upaya “memutihkan sejarah kelam bangsa”. Di luar negeri, media internasional menyoroti langkah ini sebagai “penghormatan terhadap otoritarianisme”.
Founder PILAR dan aktivis Hotman Samosir, S.H., menyebut keputusan pemerintah ini sebagai kemunduran ideologis bangsa dan penghinaan terhadap kepahlawanan hingga kepada korban kejahatan kemanusiaan.
“Jika negara menobatkan penguasa otoriter dengan rekam jejak korupsi dan pelanggaran HAM berat sebagai pahlawan, maka bangsa ini telah kehilangan arah moral dan keberanian terhadap kebenaran sejarah,” tegasnya dalam keterangannya, Selasa (11/11/2025).
*Tolok Ukur Kepahlawanan*.
Aktivis Hotman menegaskan, bangsa Indonesia tampaknya telah kehilangan parameter moral dalam menentukan makna Pahlawan.
“Kalau parameter pahlawan hanya karena pembangunan dan stabilitas, maka Firaun pun layak jadi pahlawan. Firaun membangun infrastruktur maju pesat dan megah, kepemimpinan politik dan militer, tapi meninggalkan jejak darah dan tirani,” ujarnya sarkastik sambil mengajak berpikir.
Menurutnya, logika serupa kini dipakai sebagian elite politik dan penguasa Indonesia untuk membenarkan gelar bagi Soeharto. Padahal, sejarah mencatat bahwa di balik pembangunan, terdapat represi, pembungkaman pers, korupsi sistemik, monopoli ekonomi, hingga pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat.
Lebih lanjut, ia mengingatkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, jo. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2010, secara tegas mensyaratkan bahwa penerima gelar Pahlawan Nasional harus memiliki integritas moral, berjasa luar biasa bagi bangsa, serta tidak pernah melakukan tindakan tercela atau merugikan negara. Namun, menurut aktivis Hotman, syarat itu justru diabaikan.
“Pasal 24 huruf (a) dan (b) harus memenuhi syarat umum dan khusus, dan Pasal 25 huruf (a) dan (b) UU 20/2009, jelas melarang pemberian gelar kepada seseorang yang secara hukum atau moral dinilai merusak nilai kemanusiaan atau melanggar hukum, dan tidak bisa menjadi teladan. Soeharto mungkin berjasa dalam stabilitas ekonomi, tapi ia juga menjadi simbol dari kerusakan moral birokrasi dan penindasan rakyat selama tiga dekade. Jangan lupa, pembangunan dan stabilitas ekonomi itu kewajiban seorang presiden, bukan prestasi,” katanya mengingatkan.
*Jejak Hitam Rezim Orba*
Sebagai informasi, selama 32 tahun berkuasa, Soeharto memerintah dengan tangan besi. Amnesty International dan Human Rights Watch mencatat sekitar ribuan korban pelanggaran HAM, penghilangan paksa, dan pembantaian politik pasca-1965. Tragedi Timor Timur, penembakan misterius (Petrus), peristiwa Tanjung Priok, Talangsari, hingga kerusuhan Mei 1998 menjadi noda hitam yang belum pernah diselesaikan secara hukum.
“Bagaimana mungkin negara yang masih berutang keadilan kepada para korban dan 'mewarisi' trauma orde baru, justru memberi penghargaan kepada pelaku yang bertanggung jawab?” tanya aktivis Hotman.
*Konsekuensi Moral*
Pemberian gelar ini, lanjutnya, bukan sekadar keputusan administratif, tetapi juga pilihan moral.
“Bangsa yang melupakan luka masa lalunya, sedang menanam benih kehancuran moral di masa depan,” ujar aktivisi Hotman.
Menurutnya, gelar tersebut mengkhianati penderitaan jutaan rakyat yang dibungkam, diintimidasi, dan kehilangan hak sipil selama masa Orde Baru.
“Ini bukan sekadar penghinaan terhadap korban dan para pahlawan yang layak mendapatkan, tapi juga terhadap nilai perjuangan reformasi 1998 yang menumbangkan rezim korup dan represif,” katanya lagi.
Aktivis Hotman mengutip ucapan Bung Karno, JASMERAH - “Jangan sekali-sekali melupakan sejarah.” Menurutnya, sejarah bukan sekadar catatan masa lalu, tetapi fondasi moral bagi bangsa.
“Ketika negara menghapus dosa politik dengan gelar pahlawan, itu artinya negara sedang mencuci tangan dari tanggung jawab sejarahnya sendiri,” tegas aktivis Hotman.
*Dituding ‘Mengagungkan Diktator’*
Sejumlah media internasional seperti CNN, The Guardian, The Washington Post, BBC, AP News, Reuters, The New York Times, dan Financial Times, melaporkan bahwa keputusan Indonesia ini memicu kemarahan keras. Media asing menulis: “Indonesia honours its authoritarian ruler, Suharto, while victims remain unhealed.”
Sementara Reuters menyoroti bahwa keputusan ini mencerminkan “Status pahlawan nasional Suharto mengabaikan perjuangan masa lalu". Aktivis Hotman menilai, reputasi Indonesia di mata dunia kini terancam.
“Bagaimana kita bicara soal demokrasi, HAM, keadilan, supremasi hukum, Indonesia terang, hingga Indonesia emas, and soon, kalau simbol utama dari represi dan sejarah gelap Orba justru dinobatkan sebagai pahlawan?” katanya.
*Politik Glorifikasi dan Dagang Gelar*
Aktivis Hotman mengkritik praktik glorifikasi gelar yang marak dalam birokrasi.
“Gelar pahlawan kini seolah jadi dagangan politik. Siapa yang punya akses ke kekuasaan, bisa mencalonkan circle dan keluarganya sebagai pahlawan, tanpa kajian etik dan moral secara universal dan independen," ujarnya.
Lebih lanjut, Ia menilai fenomena ini sebagai penyakit lama yang lahir dari budaya patronase dan politik balas budi.
“Gelar pahlawan nasional seharusnya bukan hadiah politik dan sarat kepentingan, melainkan pengakuan universal atas nilai kemanusiaan, integritas moral, keadilan, keteladanan, dan perjuangan luar biasa terhadap Bangsa dan Negara,” tambahnya.
Aktivis Hotman memperingatkan bahwa pemberian gelar ini berpotensi menormalisasi kekuasaan otoriter dan represi sebagai sesuatu yang patuu dihormati, hingga memaklumkan kejahatan HAM berat.
“Ingat !❗
Kalau Soeharto bisa jadi Pahlawan, maka ke depan siapa pun yang berkuasa dan punya dukungan mayoritas di parlemen juga akan merasa punya peluang yang sama,” tuturnya mengingatkan.
Aktivis ini mewanti-wanti fenomena ini sebagai “kebangkitan Orde Baru dalam bentuk simbolik”.
“Dulu kita menumbangkan kekuasaan absolut dengan berdarah-darah dan korbankan banyak hal. Sekarang, kita menyaksikan Soeharto diabadikan di buku kehormatan, dan disandingkan dengan pahlawan nasional lainnya,” sindirnya.
Di akhir keterangannya, aktivis Hotman Samosir menutup dengan peringatan kritis bahwa penghargaan gelar pahlawan nasional kepada Soeharto adalah penghinaan terhadap arti kepahlawanan.
“Pahlawan adalah simbol nurani bangsa. Ketika simbol itu diberikan kepada penguasa yang menindas rakyatnya dan tangannya penuh darah, maka bangsa ini kehilangan cermin moralnya. Penghargaan gelar pahlawan nasional kepada Soeharto adalah penghinaan terhadap arti kepahlawanan,” tuturnya lagi.
Ia menyerukan agar masyarakat sipil, akademisi, pegiat HAM, politisi putih, mahasiswa, hingga tokoh masyarakat dan agama maupun akar rumput, seyogianya memastikan menggunakan hati nurani dan nalarnya.
“Kita tidak menolak sejarah Soeharto, tapi menolak 'pemutihan sejarah' bangsa. Keadilan tidak boleh dikubur bersama kekuasaan,” pungkas aktivis Hotman Samosir mengingatkan berulang kali.
Diberitakan Oleh:
*(Rachmat S. - Tim Red)*
🌈🦋 🌈


Social Header